Home

Kamis, 26 Mei 2011

04:05 PM sec.11

Alam mendangakkan kepalanya ketika ia tersadar ada sesuatu yang mengepungnya. Lalu satu tangannya terangkat ke atas.
“Hujan..” Agis memekik pelan.
Alam tergesa-gesa melangkah ke depan hingga tubuhnya menabrak tubuh Agis. Niatnya untuk berlindung di depan gedung sekolah. Agis mengerti dan mengikuti gerak cowok itu ke gedung sekolah tanpa banyak bicara.
Mereka berdiri berdampingan, dekat. Beberapa titik air jatuh diatas rambut mereka. Di depan teras ruang tamu, mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Hei, kok diam, Lam?” Agis memulai percakapan dan memecah keheningan. Alam hanya dapat tersenyum singkat. “Cerita sesuatu donk! Tentang apa, gitu.” Tambahnya.
“Tentang apa?” Alam membalik pertanyaan.
“Kamu kerja dimana sekarang?” Agis sengaja memulai dengan pertanyaan yang umum.
“Aku, kerja di bakery tempat pamanku. Di daerah Gubeng.”
“Bakery? Enak donk! Bisa nyicip-nyicip.” Agis terlihat bersemangat. Sementara Alam tidak. “Hmm. Iya.” Jawabnya singkat.
Suasana kembali kaku. Sebenarnya mereka tak nyaman dengan keadaan seperti ini. Terutama bagi Alam. Sedetik kemudian, dering ponselnya menyelamatkan dirinya dari situasi.
“Halo..... Ehm, iya. Tunggu. Kan masih hujan. Sabar ya. Oke, bye.” Klik.
Agis membatin. Sepertinya Alam baru saja berbicara dengan pacarnya. Kalau tidak, Alam tidak akan berbicara selembut itu. Katakan saja pada teman mereka dulu waktu masih sekolah. Pada Wulan, nada bicara Alam juga jarang sekali terdengar baik. Alam acuh pada yang lainnya.
“Gimana sih? Masih hujan gini. Bisa telat ini.” Gerutunya sambil memasukkan kembali ponsel ke dalam saku.
“Gak boleh menggerutu, Lam. Hujan juga berkah!” terucap sebuah nasehat kecil dari mulut cewek itu.
“Dah telat aku ini. Udah ditunggu orang!”
“Sabar donk. Emangnya nggak bisa nunggu bentar?” Agis mulai tak bisa menahan diri.
“Iya iya. Cerewet!” balas Alam. Tentu saja tidak serius.
“Kamu tuh yang cerewet! Kayak nenek-nenek tahu nggak?” seketika Agis tersadar bahwa ia dan Alam kembali meributkan suatu hal yang sebenarnya tak perlu diributkan. Hatinya bersorak. Ya Tuhan, apa mungkin? Ini.. Aku dan Alam? Ribut kembali? Aku nggak percaya kita bisa ribut lagi.
“Apa diterobos aja ya?” ujar Alam.
“Yakin? Terserah kamu sih.” tak tahu apa yang harus ia katakan lagi pada cowok itu, Agis menimpali singkat. Apa yang harus dikatakannya? Bahwa ia tidak ingin ditinggal Alam sendirian di depan gedung sekolah? Jelas tidak mungkin.
“Eh, Gis! Gimana nanti kamu pulang?”

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar